Langsung ke konten utama

KLIMATOLOGI HUTAN (SUHU MEMPENGARUHI HUTAN DAN VEGETASI)



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Hutan yang tumbuh dan berkembang, tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, terutama lingkungan. Di permukaan bumi kurang lebih terdapat 90% biomassa yang terdapat di dalam hutan dalam bentuk pokok kayu, dahan, daun, akar dan seresah, hewan dan jasad renik. Biomassa ini adalah dari hasil fotosintesis, yang berupa sellulose, lignin, gula bersama dengan lemak, protein, damar fenol dan berbagai senyawa lainnya.
Berdasarkan hukum alam, biomassa ini dimanfaatkan oleh hewan herbivora, serangga dan jasad renik yang membutuhkan oksigen dan melepaskannya lagi dalam bentuk karbon dioksida dan karbon dioksida ini dimanfaatkan kembali oleh tumbuhan. Karena kebutuhan manusia maka hukum alam tersebut diubah, hutan dirusak dan dialihkan menjadi penggunaan yang lain.
Adapun kesatuan dari lingkungan adalah abiotik, yang terdiri dari cahaya, suhu, tanah, air, udara, zat kimia dan benda mati lainnya, yang mampu menghidupkan organisme, dan biotik, yamg terdiri dari organisme hidup termasuk tumbuhan. Pepohonan yang membentuk tajuk hutan akan menentukan iklim di dekat permukaan tanah dan juga di bawah tajuk yang kemudian disebut dengan iklim mikro.
Hal ini disebabkan adanya pepohonan dalam hutan yang berfungsi sebagai penyaring sinar matahari dan angin untuk membentuk kehidupan di hutan. Pada hutan yang tajuknya rapat, hanya tunas-tunas pepohonan besar serta tumbuh-tumbuhan merambat tertentu yang tahan terhadap keteduhan, dan rumput-rumput sajalah yang mampu hidup di lantai hutan. Bentukan tumbuh-tumbuhan di lantai hutan membawa pengaruh yang unik terhadap iklim mikro.Tumbuh-tumbuhan yang tajuknya rapat akan saling menaungi dan mempengaruhi iklim mikro daerah yang ditumbuhinya, karena tumbuhan ini mampu mengurangi radiasi sinar matahari yang mencapai tanah. Akibatnya temperatur yang ada di bawah pohon beberapa derajat di bawah temperatur di luar naungan pohon. Di samping itu juga tumbuhan tersebut mengurangi kecepatan angin yang berhembus. Tetapi jika ada tajuk yang terbuka karena tumbangnya satu pohon maka akan terjadi perubahan yang dratis  karena sinar matahari dapat masuk dan mengubah iklim mikro di dalam hutan.
Faktor-faktor tersebut di atas menentukan variasi tumbuhan hutan, di mana hal ini juga berhubungan dengan keadaan atmosfir yang ditentukan oleh sinar matahari, suhu, angin dan kelembaban. Di samping itu, suhu akan menurun mengikuti ketinggian tempat. Di daerah tropika misalnya suhu akan turun 0.40C setiap kenaikan ketinggian tempat 100 meter (Arief, 1994). Hal ini menyebabkan terjadi pembagian zona dan spesies yang berubah seperti pada daerah iklim sedang. Pengaruh suhu bagi pertumbuhan pohon yaitu, pohon memiliki kisaran suhu untuk pertumbuhan optimumnya, jika suhu melampaui batas maksimum atau minimum dari kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan pohon, pertumbuhan dan perkembangan pohon akan terhenti. Suhu optimum yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tiap-tiap pohon akan berbeda satu dengan yang lain. Karena suhu mempunyai pengaruh besar terhadap proses metabolisme pada pohon, susunan vegetasipun ikut terpengaruh. Pada daerah yang memiliki suhu tinggi dijumpai tumbuhan rumput.
Dalam hal ini penulis ingin melihat seberapa besar pengaruh suhu yang merupakan salah satu unsure dari cuaca terhadap hutan dimana hutan dapat mempengaruhi ilim ataupun sebaliknya. Oleh karena itu penulis berupaya untuk menjabarkan sejelas-jelasnya pengaruh suhu terhadap hutan maupun vegetasi didalamnya.
1.2  Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana cara suhu tersebut mempengaruhi hutan bahkan vegetasinya.

1.3   Tujuan
Menemukan hubungan antara suhu terhadap hutan dan variansi hutan maupun vegetasi didalamnya.

1.4  Manfaat

  1.  Menemukan hubungan salah satu unsur cuaca yakni suhu terhadap hutan
  2. Mengetahui perkembangan vegetasi hutan yang di pengaruhi oleh suhu
  3. Mengoptimalkan kondisi suhu agar mendapat hasil yang baik untuk hutan itu sendiri

 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Data hasil pengamatan iklim pada akhir abad ke-20 melaporkan bahwa :  sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terjadi setelah tahun 1980;§  tiga tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990; dan§  waktu paling panas terjadi pada tahun 1998 (Susanta et al. 2007).§
Suhu rata-rata permukaan bumi secara global seperti tertera pada rekaman data iklim global menunjukkan adanya kecenderungan suhu rata-rata yang terus meningkat (Gambar 2). Selanjutnya menurut Houghton et al. 2001 dalam Delinom et al. 2007, peningkatan konsentrasi gas rumah kaca khususnya setelah revolusi industri tahun 1850-an merupakan salah satu penyebab meningkatkan suhu global secara cepat.

Grafik suhu udara global anomaly rata-rata dengan suhu anomaly merupakan rata-rata suhu global periode 1961-1990 (Sumber : http//www.cru.uea.ac.uk/cru/info/warming/)
Fenomena perubahan iklim di Indonesia sendiri terlihat dari data iklim rata-rata Indonesia pada abad ke-20 yang menunjukkan terjadinya peningkatan suhu permukaan rata-rata sekitar rata-rata 0,3% sejak tahun 1990 dengan tahun 1990-an sebagai dekade terpanas (Hulme dan Sheard 1999 dalam Delinom dan Marganingrum 2007). Indikasi lain bahwa perubahan iklim telah terjadi teramati dari misalnya : peningkatan suhu rata-rata bulanan maupun perubahan pola rata-rata curah hujan bulanan dari beberapa stasiun pengamat cuaca di Indonesia, peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrim, dan terjadinya pergeseran musim tanam di beberapa wilayah di Indonesia (Santoso dkk. 2004, Irawan 2002, Amien 2005 dalam Delinom dan Marganingrum 2007).

             Sebagai contoh, pulau kecil seperti Siberut yang sangat rentan terhadap ancaman perubahan alam termasuk perubahan iklim. Proyeksi iklim di Pulau Siberut akibat kenaikan suhu global 1OC dari model sirkulasi global (GCM) HadCM2 memperlihatkan kenaikan suhu rata-rata tahunan di Pulau Siberut sebesar 1,1O C dengan kenaikan suhu bulanan bervariasi antara 1,0 O C hingga 1,2 OC (Delinom dan Marganingrum 2007).

Hubungan antara Pengurangan Luas Hutan dengan Perubahan Iklim

Pemantauan perubahan iklim dari tahun ke tahun terus dilakukan oleh IPCC. Pada April 2007, Kelompok kerja I IPCC melalui Laporan Penilaian Ke Empat (Fourth Assesment Report) menyampaikan bahwa berdasarkan berbagai penelitian mengenai peningkatan temperature sejak pertengahan abad 20 disimpulkan penyebab kenaikan suhu adalah peningkatan konsentrasi gas rumah kaca akibat kegiatan manusia (antropogenik). Kenaikan konsentrasi gas CO2 di satu sisi disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak (BBM), batu bara, dan bahan bakar organik lainnya yang menunjang aktivitas manusia, sedangkan di sisi yang lain, jumlah vegetasi yang menggunakan CO2 semakin sedikit.
Di Indonesia, kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan di suatu daerah memberi konstribusi terbesar dalam peningkatan emisi gas rumah kaca. Hal ini jelas karena terkait fungsi vegetasi sebagai salah satu unit dari ekosistem hutan yang memegang peranan penting salah satunya sebagai penyerap CO2. Kementerian Lingkungan Hidup melaporkan bahwa tingkat emisi CO2 dari kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan telah mencapai 64% (Susanta et al. 2007).

Hutan Indonesia sangat cepat mengalami degradasi, dimana menurut perhitungan ada sekitar 1,6 juta ha per tahun dibabat. Namun data tentang degradasi ini demikian tidak jelas karena ada yang mengatakan 2 juta ha per tahun, dan ada pula 1,8 juta ha per tahun. Thomas Walton, Koordinator Sektor Lingkungan dan Pembangunan Sosial dari World Bank mencatat bahwa rata-rata penebangan hutan di Indonesia mencapai 1,8 juta ha per tahun antara tahun 1985 sampai 1997 (Siahaan, 2004). Data dari departemen Kehutanan menunjukkan bahwa hutan Indonesia tahun 2001 mencapai 140,4 juta ha, artinya 70% dari total luas daratan. Dari total hutan tersebut, 30,7 juta ha diklasifikasikan sebagai hutan lindung, 18,8 juta ha merupakan pelestarian alam atau taman nasional, 64,3 juta ha hutan produksi dan 26,6 juta ha merupakan hutan terbuka yang digunakan untuk non hutan seperti untuk perkebunan, pemukiman dan transmigrasi (Siahaan 2004). Selanjutnya data luasan ini mengalami perubahan signifikan dengan semakin tingginya tekanan terhadap kawasan.

Contoh dampak pemanasan global ataupun perubahan iklim terhadap keanekaragaman hayati diuraikan sebagai berikut :
1.      Tumbuhan berbunga lebih awal
Dua pertiga spesies tumbuhan sekarang berbunga lebih awal dibandingkan beberapa dekade yang lalu
2.      Musim semi datang lebih awal
Sepertiga burung-burung di Inggris sekarang bertelur lebih awal dibandingkan 30 tahun yang lalu, dan pohon eik (oak) sekarang berdaun lebih awal daripada 40 tahun yang lalu
3. Pergeseran jelajah spesies
Dua pertiga spesies kupu-kupu Eropa yang pernah diteliti sekarang ditemukan lebih jauh lagi ke utara hingga 35 sampai 250 km daripada yang tercatat beberapa dekade yang lalu

3.      Penurunan populasi
Populasi burung penguin Adelie menurun hingga sepertiga dalam 25 tahun terakhir karena habitat esnya mencair. (Sumber : Union of Concerned Scientists 1999; Parmesan dan Yohe 2003 dalam Primack dan Indrawan 1998).

Fluktuasi kecil perubahan temperatur, bisa mengakibatkan perubahan iklim dan membawa dampak kemampuan satu spesies untuk tetap hidup di habitat asli mereka. Peningkatan suhu pada satu habitat dapat menyebabkan satu spesies–terkadang dalam jumlah besar–berpindah menuju tempat yang disenanginya. Biasanya pada tempat yang lebih sejuk. Hal ini menyimpulkan bahwa perubahan iklim merupakan ancaman baru terhadap kepunahan suatu spesies. Jadi, kepunahan spesies merupakan kombinasi dari kehilangan habitat yang merupakan ancaman terbesar, sedangkan perubahan iklim merupakan penekan bahwa suatu spesies bisa berpindah atau tetap bertahan (Mangunjaya, 2006). Perubahan iklim pada gilirannya akan sangat mempengaruhi semua unsur keanekaragaman hayati seperti pola distribusi, kelimpahan, daya tahan tubuh atau kerentananan terhadap penyakit, pola regenerasi, ketersediaan pakan dan berbagai sistem kehidupan lainnya.

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfera Bumi yang paling penting.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar. Pengertian ilmu kehutanan, hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas. Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan adalah iklim dimana iklim dapat mempengaruhi hutan dan sebaliknya. Salah satu contoh unsur - unsur cuaca yaitu suhu. Suhu adalah besaran yang menyatakan derajat panas dingin suatu benda dan alat yang digunakan untuk mengukur suhu adalah thermometer. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat untuk mengukur suhu cenderung menggunakan indera peraba. Tetapi dengan adanya perkembangan teknologi maka diciptakanlah termometer untuk mengukur suhu dengan valid.
Pada abad 17 terdapat 30 jenis skala yang membuat para ilmuan kebingungan. Hal ini memberikan inspirasi pada Anders Celcius (1701 – 1744) sehingga pada tahun 1742 dia memperkenalkan skala yang digunakan sebagai pedoman pengukuran suhu. Skala ini diberinama sesuai dengan namanya yaitu Skala Celcius. Apabila benda didinginkan terus maka suhunya akan semakin dingin dan partikelnya akan berhenti bergerak, kondisi ini disebut kondisi nol mutlak. Skala Celcius tidak bisa menjawab masalah ini maka Lord Kelvin (1842 – 1907) menawarkan skala baru yang diberi nama Kelvin. Skala kelvin dimulai dari 273 K ketika air membeku dan 373 K ketika air mendidih. Sehingga nol mutlak sama dengan 0 K atau -273°C. Selain skala tersebut ada juga skala Reamur dan Fahrenheit. Untuk skala Reamur air membeku pada suhu 0°R dan mendidih pada suhu 80°R sedangkan pada skala Fahrenheit air membuka pada suhu 32°F dan mendidih pada suhu 212°F.

            Dari hal ini kita bisa melihat perubahan suhu dari tahun ketahun yang makin meningkat saja(pemanasan global). Pengaruhnya tidak hanya pada hutan tersebut namun juga vegetasi dan satwa yang ada didalmanya. Jika hutan tidak dapat lagi megurangi emisi karbon maka kita pun akan merasakan hal yang sama atas perubahan suhu tersebut.
          


BAB III
PEMBAHASAN
Suhu yang merupakan salah satu unsure penting dalam cuaca sangat mempengaruhi hutan dan vegetasinya. Suhu yang berdasarkan ketinggian tempat dimana semakin tinggi suatu daerah maka semakin rendah pula suhunya.  Dari hal ini maka vegetasi yang terbentuk pun juga berbeda misalnya saja jika ada tanaman yang dapat hidup pada suhu rendah maka jika tanaman tersebut dibawa ke suhu yang lebih tinggi dari biasanya maka suhu tersebut bukannya akan menjadi salah satu unsur pembentuk cuaca yang menguntungkan melainkan sebagai boomerang. oleh karena itu suhu yang dapat mempengaruhi hutan kadarnya tidak boleh berlebih dari biasanya karena kemampuan suatu tanaman untuk beradaptasi sangat mempengaruhi hal ini.
Indonesia memiliki banyak jenis hutan dalam hal ini setiap hutan tersebut pun memiliki batas toleransi maksimal akan suhu. Ketinggian tempat , unsur –unsur yang terkandung didalam tanah pun sangat mempengaruhi suhu. Contohnya saja pada hutan rawa gambut yang mengandung zat organic dan menyimpan CO2 didalamnya  Iklim berpengaruh langsung terhadap komposisi dan struktur hutan. Di lain pihak, suhu berpengaruh terhadap laju oksidasi lahan gambut. Iklim juga mempunyai pengaruh langsung terhadap sifat hutan rawa gambut, seperti misalnya aspek hidrologi. Hutan rawa gambut tropika umumnya bersifat jenuh/tergenang air hujan sedangkan hutan gambut di daerah temperate terbentuk pada kondisi suhu rendah dan tidak tergenang air. Oleh karena itu pemanfaatan hutan rawa gambut dalam hal pengekploitasian energy sangatlah berbahaya karena akan merusak keseimbangan alam itu sendiri.
Pada hutan hujan tropis yang selalu hijau tiap tahunnya karena mendapat pencahayaan yang cukup suhu yang tidak terlalu berfluktasi tinggi karena posisinya yang terletak pada garis khatulistiwa yang membuat tanaman hutan dapat tumbuh sepanjang tahunnya tanpa ada masa dormansi. Hutan hujan tropis ini dapat melakukan fungsinya tanpa terkendala oleh perubahan musim yang cukup mendasar. Dalam hal ini kita dapat mengetahui bahwasaanya suhu yang cukup optimal yang dapat diterima oleh vegetasi  hutan dan satwa agar hutan tersebut tetap dapat melakukan fungsinya dalam mengoksidasai CO2. Namun jika fungsi hutan mulai berubaha fungsi ataupun kemampuannya dalam penyerapan CO2 berkurang maka suhu yang tidak sesuai ataupun semakin panas yang ditimbulkan akan berdampak negative pada hutan tersebut dan jika alam – kelamaan hal ini terus terjadi maka fungsi hutan akan hilang karena hutan tidak memiliki kondisi yang baik untuk melakukan penyerapan CO2 yang akan berdampak pada kehidupan selanjutnya.
Suhu juga mempengaruhi bentuk dan vegetasi hutan tersebut contohnya saja :
Ditinjau dari sudut pertumbuhan tanaman, Junghuhn (1853) dalam membagi daerah pertanaman di pulau Jawa menjadi 4 zone.
1. Zone I 0 – 600 m dari permukaan laut
2. Zone II 600 – 1.350 m
3. Zone III 350 – 2.250 m, dan 
4. Zone IV 2.250 – 3.000 m. 

Sedangkan Wellman (1972) membuat pembagian yang dihubungkan dengan ekologi patogen tanaman dan ternyata cocok untuk tropika Asia yaitu zone I 0-300 meter diatas permuakan laut, zone II 300-500 mdpl, zone III 500-1000 mdpl dan zone IV 1.000-2.000 mdpl.
Berdasarkan ketinggian tempatnya terdapat macam-macam hutan:
• hutan pantai (beach forest) 
• hutan dataran rendah (lowland forest) 
• hutan pegunungan bawah (sub-montane forest) 
• hutan pegunungan atas (montane forest) 
• hutan kabut (cloud forest) 
• hutan elfin (alpine forest)

Perubahan suhu tentunya mengakibatkan perbedaan jenis tumbuhan pada wilayah-wilayah tertentu sesuai dengan ketinggian tempatnya. Maka berdasarkan iklim dan ketinggian tempat, flora di Indonesia terdiri atas:

Hutan hujan tropis Indonesia berada di daerah katulistiwa, banyak mendapat sinar matahari, curah hujannya tinggi, dan suhu udaranya tinggi, menyebabkan banyak terdapat hutan hujan tropik. Ciri-ciri hutan ini adalah sangat lebat, selalu hijau sepanjang tahun, tidak mengalami musim gugur, dan jenisnya sangat heterogen. Hutan jenis ini banyak terdapat di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Irian Jaya. Beberapa jenis floranya misalnya kayu meranti, ulin, dan kapur. Pada pohon-pohon ini hidup menumpang berbagai tumbuhan seperti anggrek dan tumbuhan merambat.dan epifit. Tumbuhan merambat yang terkenal adalah rotan. 

Pembagian hutan hujan tropis adalah sebagai berikut.

1. Hutan Hujan Tanah Kering (ketinggian 1000 - 3000 m dari muka laut)
- Hutan nondipterocarpeceal memiliki ketinggian < 1.000 m dan suhu
antara 26°C-21°C.

- Hutan dipterocarpaccoo memiliki ketinggian < 1.000 m dan suhu antara
26°C-21°C.
- Hutan agathis campuran memiliki ketinggian < 2.500 m dan suhu antara
26°C-13°C.
- Hutan pantai memiliki ketinggian < 5 m dan suhu ± 26°C.
- Hutan belukar memiliki ketinggian < 1.000-2.000 m dan suhu antara
26°C-21°C.
- Hutan fegacceal memiliki ketinggian antara 1.000-2.000 m dan suhu
antara 21°C-28°C.
- Hutan casuarina memiliki ketinggian antara 1.000-2.000 m dan suhu
antara 21°C-11°C.
- Hutan penuh memiliki ketinggian antara 700-1.000 m dan suhu antara
23°C-18°C.
- Hutan nothofogus memiliki ketinggian 1.000-3.000 m dan suhu antara
21°C-11°C.

2. Hujan Tanah Rawa (ketinggian 5 - 100 m dari muka laut).
- Rawa air tawar 
- Hutan rawa gambut
 -Hutan payau (hutan mangrove)



BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
            Dari data pembahasan kita dapat menyimpulkan bahwasanya salah satu unsure-unsur cuaca yaitu suhu memiliki peranan penting dalam pengaruhnya terhadap hutan. Suhu dapat mempengaruhi vegetasi yang tumbuh dan satwa yang menetap di hutan tersebut karena tanaman hutan memiliki adaptasi yang berbeda-beda terhadap suhu sehingga tidak mungkin kita memindahkan tanaman tanpa perlakuan yang khusus terutama suhu maka lama-kelamaan tanaman tersebut pun akan layu karena kondisi lingkungan hidupnya tidak menguntungkan bagi tanaman tersebut melainkan bagi pathogen yang menyerang tanaman tersebut. Jika hutan tidak dapat melakukan fungsinya secara baik dalam pengemisian karbon maka suhu bumi pun akan semakin meningkat dan terjadilah pemanasan global. Yang akan mengakibatkan dampak yang cukup besar karena jika salah satu keseimbangan alam terganggu maka yang lainnya juga akan terganggu.
4.2 Saran
1. Dalam pengelolaan hutan kita harus memperhatikan kondisi lingkungan yang ada agar kita bisa mendapatkan hasil yang maksimal dari fungsi hutan tersebut
2. Perlakuaan secara khusus terhadap tanaman hutan agar hutan kita tetap dapat menjaga kesimbangan alam
3. Pemilihan vegetasi yang sesuai terhadap suhu daerah tersebut agar tanaman hutan tersebut dapat tumbuh dengan optimal pada lingkungan barunya

DAFTAR PUSTAKA
Food and Agriculture Organization, Forestry Department, “Climate Change Impacts to Forest Health”, FAO: 2008

Arsyad, Sitanala dan Eman Rustiadi. 2008. Penyelamatan Tanah, Air dan Lingkungan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.Susanta, Gatut, Hari Sutjahjo, Hety Indriani dan Shinta K. 2007. Akankah Indonesia Tenggelam Akibat Pemanasan Global. Niaga Swadaya. Jakarta.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pengantar Pendidikan (Pendidikan karakter)

1.Jelaskan apa yang dimaksud pendidikan dan kenapa manusia harus didik ? Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (domain kognitif) tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan (domain afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (domain perilaku). Jadi pendidikan karakter terkait erat kaitannya dengan habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktekan atau dilakukan. Karakater menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, dapatlah dikatakan orang tersebut memanisfestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, bertanggung jawab, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulya. Istiah karakter juga erat kaitannya denga...

PENGENDALIAN HAMA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kehutanan yang saat ini dikembangkan lebih mengarah kepada hutan tanaman dengan sistem monokultur. Salah satu dampak negatif dari sistem monokultur adalah kerentanan terhadap hama dan penyakit, hal ini terjadi karena sumber pakan tersedia dengan melimpah dan dalam wilayah yang luas. Serangan hama dan penyakit jika tidak dikelola dengan tepat maka akan mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem. Selain dari itu, serangan hamadan penyakit berdampak pada prokduktifitas dan kualitas  standing stock yang ada. Diantaranya adalah menurunkan rata-rata pertumbuhan, kualitas kayu, menurunkan daya kecambah biji dan pada dampak yang besar akan mempengaruhi pada kenampakan estetika hutan. Seiring dengan permintaan pasar internasional, pengelola hutan dituntut untuk menghasilkan produk hutan yang berasal dari hutan yang dikelola secara lestari. Prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari telah dirumuskan oleh...